
Hostile architecture, juga dikenal sebagai defensive design atau exclusionary design, adalah pendekatan dalam arsitektur kota yang dirancang secara sengaja untuk membatasi atau bahkan mencegah penggunaan ruang publik oleh kelompok tertentu, terutama mereka yang dianggap tidak “diinginkan” seperti tunawisma. Fenomena ini muncul sebagai bagian dari kontrol sosial di lingkungan perkotaan modern, dan kini menjadi bahan perdebatan luas di dunia arsitektur dan perencanaan kota.

Contoh paling umum dari hostile architecture bisa ditemukan pada bangku taman yang dimiringkan, kursi dengan pembatas tengah, atau paku logam yang dipasang di trotoar dan area kosong di bawah jembatan. Meskipun terlihat seperti elemen desain biasa, fitur-fitur ini sebenarnya dirancang untuk menghalangi orang duduk, tidur, atau beristirahat, khususnya mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.

Tujuan utama dari desain semacam ini bukan untuk estetika atau kenyamanan, tetapi sebagai bentuk kontrol terhadap siapa yang boleh menggunakan ruang publik dan bagaimana ruang itu digunakan. Hal ini mencerminkan bagaimana kebijakan desain dapat berubah menjadi alat eksklusi sosial, dengan menjadikan kota semakin tidak ramah bagi kelompok rentan.

Salah satu studi dari Center for Urban Design and Mental Health menyebutkan bahwa penggunaan hostile architecture bisa meningkatkan rasa terasing dan kecemasan, terutama bagi kelompok yang sering menjadi target eksklusi seperti tunawisma, lansia, atau kaum muda. Desain ini pada akhirnya menghapus fungsi sosial dari ruang publik yang seharusnya inklusif dan terbuka bagi semua.

Lebih dari sekadar isu estetika, hostile architecture memperlihatkan bagaimana desain dapat memperkuat batas-batas sosial yang tidak terlihat. Alih-alih menawarkan solusi jangka panjang atas isu sosial seperti tunawisma, desain ini cenderung “menyembunyikan masalah” dengan cara mengusir mereka dari ruang kota, bukan menyelesaikan akar persoalannya.

Para arsitek, desainer, dan pembuat kebijakan kini dihadapkan pada tantangan etika: apakah desain kota hanya ditujukan untuk kenyamanan mayoritas, ataukah harus mempertimbangkan keadilan sosial dalam setiap bentuk intervensi ruang? Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya ruang publik yang inklusif, praktik hostile architecture perlu dikaji ulang agar kota dapat menjadi tempat yang benar-benar milik semua orang.