
Rencana pembangunan Pertamina Energy Tower, yang diumumkan pada tahun 2013, menandai ambisi Indonesia untuk memiliki salah satu gedung pencakar langit tertinggi di dunia. Gedung ini direncanakan setinggi 523 meter dengan 99 lantai, berlokasi di kawasan Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan. Luas total bangunan mencapai sekitar 495.000 meter persegi, mencakup berbagai fasilitas seperti masjid berkapasitas 5.000 orang, ruang pertemuan, pusat energi, dan fasilitas olahraga.

Pertamina Energy Tower dirancang sebagai pusat aktivitas bagi sekitar 23.000 pekerja Pertamina dan anak perusahaannya, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja. Investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini diperkirakan sebesar 1,7 miliar dolar AS. Peletakan batu pertama dilakukan pada Desember 2013 oleh Direktur Utama Pertamina saat itu, Karen Agustiawan.

Proyek ini melibatkan konsultan internasional ternama, Skidmore, Owings & Merrill LLP (SOM), yang sebelumnya terlibat dalam pembangunan Burj Khalifa di Dubai. Dari dalam negeri, PT Airmas Asri berperan sebagai konsultan arsitek, sementara PT Wiratama & Associates sebagai konsultan struktur. PT Pembangunan Perumahan dan PT Hutama Karya ditunjuk sebagai pelaksana proyek Central Energy Plant.

Pertamina Energy Tower dirancang dengan konsep ramah lingkungan, memanfaatkan energi terbarukan seperti panas bumi, angin, air, sinar matahari, dan gas. Gedung ini diklaim akan hemat energi hingga 80%, dengan 55% dari luas lahannya dialokasikan sebagai area terbuka hijau yang dilengkapi sistem daur ulang air hujan serta showcase energi terbarukan.

Desain arsitektural menara ini menampilkan bagian atas yang membulat dan terbuka, berfungsi sebagai “corong angin” untuk mempercepat aliran angin dan menghasilkan energi tambahan. Namun, pada Februari 2015, Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman, mengumumkan penundaan pembangunan menara ini karena penurunan harga minyak global.